Kamis, 24 November 2016

Tokoh - Tokoh Eksistensialisme dan Ajarannya

Tokoh - Tokoh Eksistensialisme dan Ajarannya
Tokoh-tokoh eksistensialisme ini cukup banyak, di antaranya: Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Karl Jaspers, Martin Heidegger, Gabriel Marcel, dan Sartre. Namun dalam makalah ini penulis membatasi pada dua tokoh ini yang dipandang mewakili tokoh-tokoh lainnya, yaitu Soren Aabye Kierkegaard dan Jean Paul Sartre.
1.      Soren Aabye Kierkegaard
Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) lahir di Kopenhagen, Denmark. Ia lahir ketika ayahnya berumur 56 tahun dan ibunya 44 tahun. Ia mulai belajar teologi di Universitas Kopenhagen. Ia menentang keras pemikiran Hegel yang mendominasi di Universitas tersebut. Dalam kurun waktu ini ia apatis terhadap agama, ingin hidup bebas dari lingkungan aturan agama. Setelah mengalami masa krisis religius, ia kembali menekuni ilmu pengetahuan dan menjadi Pastor Lutheran.
Pada tahun 1841 ia mempublikasikan buku pertamanya (disertasi MA) Om Begrebet Ironi (The Concept of Irony). Karya ini sangat orisinal dan memperlihatkan kecemerlangan pemikirannya. Ia mengecam keras asumsi-asumsi pemikiran Hegel yang bersifat umum. Karya agungnya terjelma dalam Afsluttende Uvidenskabelig Efterskriff (Consluding Unscientific Postcript) tahun 1846, mengungkapkan ajaran-ajarannya yang bermuara pada kebenaran subyek. Karya-karya lainnya adalah Enten Eller (1843) dan Philosophiske Smuler (1844). Sedangkan buku-buku yang bernada kristiani adalah Kjerlighedens Gjerninger (Work of Love) 1847, Christelige Taler (Christian Discourses) 1948, dan Sygdomen Til Doden (The Sickness into Death) tahun 1948).  Ide-ide pokok Soren Aabye Kierkegaard adalah sebagai berikut:
·         Tentang Manusia.
Kierkegaard menekankan posisi penting dalam diri seseorang yang “bereksistensi” bersama dengan analisisnya tentang segi-segi kesadaran religius seperti iman, pilihan, keputusasaan, dan ketakutan. Pandangan ini berpengaruh luas sesudah tahun 1918, terutama di Jerman. Ia mempengaruhi sejumlah ahli teologi protestan dan filsuf-filsuf eksistensial termasuk Barh, Heidegger, Jaspers, Marcel, dan Buber.
Alur pemikiran Kierkegaard mengajukan persoalan pokok dalam hidup; apakah artinya menjadi seorang Kristiani? Dengan tidak memperlihatkan “wujud” secara umum, ia memperhatikan eksistensi orang sebagai pribadi. Ia mengharapkan agar kita perlu memahami agama Kristen yang otentik. Ia berpendapat bahwa musuh bagi agama Kristiani ada dua, yaitu filsafat Hegel yang berpengaruh pada saat itu. Baginya, pemikiran abstrak, baik dalam bentuk filsafat Descartes atau Hegel akan menghilangkan personalitas manusia dan membawa kita kepada kedangkalan makna kehidupan. Dan yang kedua adalah konvensi, khususnya adat kebiasaan jemaat gereja yang tidak berpikir secara mendalam, tidak menghayati agamanya, yang akhirnya ia memiliki agama yang kosong dan tak mengerti apa artinya menjadi seorang kristiani.
Kierkegaard bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan utama yang diajukannya adalah karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena ia (Hegel) mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai sesuatu “aku umum”, tetapi sebagai “aku individual” yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain. Kierkegaard sangat tidak suka pada usaha-usaha untuk menjadikan agama Kristen sebagai agama yang masuk akal (reasonable) dan tidak menyukai pembelaan terhadap agama Kristiani yang menggunakan alasan-alasan obyektif.
Penekanan Kierkegaard terhadap dunia Kristiani, khususnya gereja-gerejanya, pendeta-pendetanya, dan ritus-ritus (ibadat-ibadat)nya sangat mistis. dia tidak menerima faktor perantara seperti pendeta, sakramen, gereja yang menjadi penengah antara seorang yang percaya dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
·         Pandangan tentang Eksistensi
Kierkegaard mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan mengajukan pernyataan ini; bagi manusia, yang terpenting dan utama adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Eksistensi manusia bukanlah statis tetapi senantiasa menjadi, artinya manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan kenyataan. Proses ini berubah, bila kini sebagai sesuatu yang mungkin, maka besok akan berubah menjadi kenyataan. Karena manusia itu memiliki kebebasan, maka gerak perkembangan ini semuanya berdasarkan pada manusia itu sendiri. Eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebassannya. Kebebasan itu muncul dalam aneka perbuatan manusia. Baginya bereksistensi berarti berani mengambil keputusan yang menentukan bagi hidupnya. Konsekuensinya, jika kita tidak berani mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka kita tidak bereksistensi dalam arti sebenarnya.Kierkegaard membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu estetis, etis, dan rligius.
Eksistensi estetis menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam lingkungan dan masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat dinikmati manusia sepuasnya. Di sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak mengenal ukuran norma, tidak adanya keyakinan akan iman yang menentukan.
Eksistensi etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia juga memperhatikan dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak hanya condong pada hal-hal yang konkrit saja tapi harus memperhatikan situasi batinnya yang sesuai dengan norma-norma umum. Sebagai contoh untuk menyalurkan dorongan seksual (estetis) dilakukan melalui jalur perkawinan (etis).
Eksistensi religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia bergerak kepada yang absolut, yaitu Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia. Perpindahan pemikiran logis manusia ke bentuk religius hanya dapat dijembatani lewat iman religius.
2.      Jean Paul Sartre
Jean Paul Sartre (1905-1980) lahir tanggal 21 Juni 1905 di Paris. Ia berasal dari keluarga Cendikiawan. Ayahnya seorang Perwira Besar Angkatan Laut Prancis dan ibunya anak seorang guru besar yang mengajar bahasa modern di Universitas Sorbone. Ketika ia masih kecil ayahnya meninggal, terpaksa ia diasuh oleh ibunya dan dibesarkan oleh kakeknya. Di bawah pengaruh kakeknya ini, Sartre dididik secara mendalam untuk menekuni dunia ilmu pengetahuan dan bakat-bakatnya dikembangkan secara maksimal. Pengalaman masa kecil ini memberi ia banyak inspirasi. Diantaranya buku Les Most (kata-kata) berisi nada negatif terhadap hidup masa kanak-kanaknya.
Meski Sartre berasal dari keluarga Kristen protestan dan ia sendiri dibaptiskan menjadi katolik, namun dalam perkembangan pemikirannya ia justru tidak menganut agama apapun. Ia atheis. Ia memngaku sama sekali tidak percaya lagi akan adanya Tuhan dan sikap ini muncul semenjak ia berusia 12 tahun. Bagi dia, dunia sastra adalah agama baru, karena itu ia menginginkan untuk menghabiskan hidupnya sebagai pengarang.
Sartre tidak pernah kawin secara resmi, ia hidup bersama Simone de Beauvoir tanpa nikah. Mereka menolak menikah karena bagi mereka pernikahan itu dianggap suatu lembaga borjuis saja. Dalam perkembangan pemikirannya, ia berhaluan kiri. Sasaran kritiknya adalah kaum kapitalis dan tradisi masyarakat pada masa itu. Ia juga mengeritik idealisme dan para pemikir yang memuja idealisme.
Pada tahun 1931 ia mengajar sebagai guru filsafat di Laon dan Paris. Pada periode ini ia bertemu dengan Husserl. Semenjak pertemuan itu ia mendalami fenomenologi dalam mengungkapkan filsafat eksistensialisme-nya. Ia menjadi mashur melalui karya-karya novel dan tulisan dramanya. Dalam bidang filsafat, karyanya yang sangat terkenal adalah Being and notthingness, buku ini membicarakan tentang alam dan bentuk eksistensinya.
Eksistensialisme dan Humanism yang berisi tentang manusia. Ia juga termasuk tokoh yang membantu gerakan-gerakan haluan kiri dan pembela kebebasan manusia. Dengan lantang ia mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai sandaran keagamaan atau tidak dapat mengendalikan pada kekuatan yang ada di luar dirinya, manusia harus mengandalkan kekuatan yang ada dalam dirinya. Karya-karya yang lain adalah Nausea, No Exit, The Files, dan The Wall.Ide-ide pokok Sartre adalah sebagai berikut:
·         Tentang Manusia
Bagi Sartre, manusia itu memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak mengandung arti dan bahkan mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang jelas, manusia dapat hidup dengan aturan-aturan integritas, keluhuran budi, dan keberanian, dan dia dapat membentuk suatu masyarakat manusia. Dalam novel semi-otobiografi La Nausee (1938) dan essei L’Eksistensialisme est un Humanism (1946), ia menyatakan keprihatinan fundamental terhadap eksistensi manusiawi dan kebebasan kehendak. Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan sepertinya, dari kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya atau memikul beban tanggung jawab.
Sartre mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan. Manusia tak ada hubungannya dengan kekuatan di luar dirinya. Ia mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni memandang manusia sebagai kurang memiliki watak yang semestinya. dia harus membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Maka dari itu “tak ada watak manusia”, oleh karena tak ada Tuhan yang memiliki konsepsi tentang manusia. Manusia hanya sekedar ada. Bukan karena ia itu sekedar apa yang ia konsepsikan setelah ada—seperti apa yang ia inginkan sesudah meloncat ke dalam eksistensi”. Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar diri manusia.
Manusia harus bersandar pada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. Karena itu bagi Sartre, pandangan eksistensialis adalah suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia. Eksistensialime mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan mengandung keterlibatan lingkungan dan subyektifitas manusia.
·         Kebebasan
Dalam pemikiran Sartre selalu bermuara pada konsep kebebasan. Ia mendefinisikan manusia sebagai kebebasan. Sartre memberikan perumusan bahwa pada manusia itu eksistensi mendahului esensi, maksudnya setelah manusia mati baru dapat diuraikan ciri-ciri seseorang. Perumusan ini menjadi intisari aliran eksistensialisme dari Sartre.
Kebebasan akan memberi rasa hormat pada dirinya dan menyelamatkan diri dari sekedar menjadi obyek. Kebebasan manusia tampak dalam rasa cemas. Maksudnya karena setiap perbuatan saya adalah tanggung jawab saya sendiri. Bila seseorang menjauhi kecemasan, maka berarti ia menjauhi kebebasan. Kebebasan merupakan suatu kemampuan manusia dan merupakan sifat kehendak. Posisi kebebasan itu tidak dapat tertumpu pada sesuatu yang lain, tetapi pada kebebasan itu sendiri.

Sartre mengakui pemikiran Mark lebih dekat dengan keadaan masyarakat dan satu-satunya filsafat yang benar dan definitif. Filsafat Mark telah memberikan kesatuan konkrit dan dialektis antara ide-ide dengan kenyataan pada masyarakat. Mark telah menekankan konsep keberadaan sosial ketimbang kesadaran sosial. Dan bagi Sartre, Mark adalah seorang pemikir yang berhasil meletakkan makna yang sebenarnya tentang kehidupan dan sejarah. Meski demikian, Sartre tidak menganggap pemikiran Mark sebagai akhir suatu pandangan filsafat, karena setelah cita-cita masyarakat tanpa kelas versi Mark terbentuk, maka persoalan filsafat bukan lagi soal kebutuhan manusia akan makan dan pakaian, tetapi persoalan filsafat mungkin dengan memunculkan tema yang baru, seperti soal kualitas hidup manusia masa depan. Tetapi pemikiran Mark itu dinilai relevan untuk masa kini.







DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rozak, Isep Zainal Arifin, Filsafat Umum, Bandung: Gema Media Pusakatama, 2002.
Praja, juhaya s. 2006. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Bandung: Yayasan PIARA (Pengembangan Ilmu Agama dan Humaniora).
Beerling, R.F. 1966. Filsafat Dewasa Ini. Terj. Hasan Amin, Djakarta:Balai Pustaka.
Dagun, Save M. 1990. Filsafat Eksistensialisme, Jakarta:Rineka Cipta.
Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung: PT Pustaka Setia, 1997.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar